Sabtu, 13 Juni 2009

PERKEMBANGAN FILM INDIE DI INDONESIA



Para pegiat film indie dari berbagai kota di Indonesia telah banyak menunjukkan aktifitas berkaryanya. Tak ada keharusan bagi para pegiat itu untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi. Sesuai dengan semangat independen, tak perlu ada ketergantungan pada teori-teori yang telah mapan. Tetapi dalam berbagai even festival film indie, terbukti karyakarya mereka sangat mengagumkan di mata para juri yang rata-rata adalah empu-empu sinematografi Indonesia. Menarik untuk di bahas bagaimana perkembangan film indie di Indonesia, dan bagaimana para pegiat tersebut belakangan ini telah menjadi motor penggerak pertumbuhan kembali perfilman nasional.

Dalam buku Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Gotot Prakoso banyak memberikan gambaran sejarah dan perkembangan film independen di Indonesia, yang oleh Gotot disebutnya sebagai film pendek. Bagi Gotot, film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya semestinya bisa lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap ‘shot’ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Ketika pembuat film terjebak ingin mengungkapkan cerita saja, film pendek seperti ini akan menjadi film panjang yang dipendekkan karena hanya terikat oleh waktu yang pendek. Menurut Gotot, sejarah pergerakan film pendek Indonesia diisi dengan penggalan-penggalan peristiwa. Berbagai peristiwa itu menandai suatu usaha yang sekaligus memberi perlawanan terhadap situasi perkembangan film Indonesia secara utuh. Sayangnya, secara formal para peneliti sejarah film Indonesia sampai sekarang hanya tertarik pada film-film mainstream yang beredar di gedung-gedung bioskop sebagai bagian dari sebuah industri budaya pop. Adapun, pergerakan film pendek Indonesia dianggap tidak menarik karena dianggap tidak masuk dalam ikatan industri itu.

Oleh kalangan akademisi dan seniman film Institut Kesenian Jakarta (IKJ), film independen memang lebih banyak disebut sebagai film pendek. Seperti diakui Gotot, soal
penamaan istilah ini memang beragam. Ada orang menyebut film indie, independen, dan juga film pendek. Bahkan kalangan seniman film Yogyakarta, film semacam ini disebut sebagai film ‘wayang’. Istilah ‘wayang’ ini diadopsi dari pengertian film masa lampau yang menyebutkan bintang film (artis) sebagai ‘anak wayang’ sehingga jika jenis film ini dianggap sebagai semacam wacana, Gotot membiarkan peristilahan itu berkembang sebebas-bebasnya. Jika hanya dipatok dengan istilah indie, nanti bisa jadi orang akan menghubungkannya dengan film masa lampau Indonesia. Kalau menyebut independen, bisa jadi orang akan mempertanyakan independen dalam soal apa. Sampai saat ini, Gotot yang sering menjadi juri film pendek di tingkat nasional ataupun internasional, masih menggunakan istilah film pendek. Selanjutnya, Gotot menambahkan bahwa sejarah film pendek Indonesia bergerak sendiri di luar industri film yang ada. Namun kenyataannya, film-film pendek Indonesia kini telah banyak mendapat perhatian dan penghargaan dari luar negeri. Banyaknya forum di luar negeri seperti festival film yang mengundang film-film pendek untuk dipertunjukkan dan dibahas. Dengan demikian, film pendek tersebut telah menjadi public relations untuk perfilman Indonesia, menggantikan film-film mainstream Indonesia yang kurang berbicara di forum internasional.

Melihat kilas balik pergerakan film pendek atau film independen bisa dimulai dari awalnya, yakni tahun tujuh puluhan ketika berdirinya Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) dan pendidikan film pertama di Indonesia. Pada saat itu, mulai popular media film 8 mm yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. DKJ-TIM membuat Lomba Film Mini yang mengakomodasi munculnya film-film pendek buatan para amatir, para seniman di luar film, dan mahasiswa termasuk mahasiswa sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, yang kemudian berubah menjadi IKJ). Dari aktivitas lomba dan gencarnya DKJ-TIM mengadakan pekan film pendek dan alternatif, memunculkan gerakan pertama oleh anak-anak muda yang menamakan diri “Sinema Delapan’. Gerakan ini mencoba memunculkan karya-karya film dengan media 8 mm dengan semangat yang besar untuk menantang tata cara pembuatan film di industri film Indonesia yang saat itu mengalami booming yang luar biasa (satu tahun rata-rata berjumlah 125 judul). Sayangnya hanya dengan modal semangat, gerakan ini tidak bisa bertahan lama. Tidak banyak orang yang terlibat dalam pergerakan, kecuali hanya segelintir mahasiswa film LPKJ. Gerakan ini usianya tidak lebih dari satu tahun, walaupun para anggotanya telah memproduksi sejumlah film pendek.

Pada awal tahun delapan puluhan, muncul ‘Forum Film Pendek (FFP) yang digagas oleh banyak orang, khususnya dengan bergabungnya beberapa seniman di luar film dan juga dari kalangan industri film serta anak-anak muda, mahasiswa UI, IKIP, dan IKJ yang juga sudah membuat karya film. Forum ini cukup bisa menciptakan isu nasional dan banyak melakukan pemutaran film dan apresiasi film hingga ke Medan, Bali, dan Lombok. Sebagai sebuah gerakan, cukup kokoh dan sanggup menginventarisasi karya-karya film pendek. FPP juga menformulasikan film pendek sebagai film alternatif dan independen. Forum ini bergerak aktif di tahun awal delapan puluhan hingga pertengahan delapan puluhan. Misi FPP adalah gerakan seni melalui film film dan eksplorasi ke luar negeri. Pada saat inilah dimulainya film film pendek Indonesia mengikuti berbagai festival di luar negeri. Pada pertengahan sembilan puluhan, muncul gerakan ‘Sinema Gerilya’, sebuah istilah yang dilontarkan oleh Seno Gumira Adjidarma, seorang sastrawan dan pemerhati film yang bereaksi atas surutnya produksi film nasional. Seno melihat secara ekstrem bahwa produksi film alternatif sudah selayaknya menggantikan posisi film nasional. Pada saat ini, walaupun produksi film Indonesia surut, justru ada beberapa film yang dikategorikan sidestream atau film-film seni banyak berbicara di forum internasional. Oleh karena itu, sudah selayaknya semangat ‘Sinema Gerilya’ harus dimunculkan(Prakosa,2001:10-13).

Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas. Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film main-stream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas lingkungan atau dunia secara umum. (Prakosa, 2001: 25-26).

Jika diamati, ternyata banyak film independen kita yang sudah berjaya di luar negeri. Sebut saja, misalnya, film Revolusi Harapan karya Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).

Dalam Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.

Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional. Selain film-film tersebut, masih banyak lagi film yang unjuk gigi di luar negeri. Kalau kini orang ramai membicarakan maraknya film independen, akarnya sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967), Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia baru (istilah Jiffest) secara menyeluruh.

Selain aspek misi dan penggarapan, film independen juga biasanya tidak dipatok dengan durasi seperti kebanyakan film mayor. Dalam beberapa event festival indie, sering film-film yang dikirimkan tidak berdurasi lama, tetapi masa tayangnya hanya sekitar 10-25 menit. Mengapa demikian? Film independen tidak melibatkan pemodal yang kuat sehingga untuk memproduksinya tidak harus menunggu dana cair dari seorang konglomerat atau pengusaha. Bagi penggiat film indie, jika mereka mempunyai dana untuk membeli kaset, makan/minum selama produksi hingga editingnya saja, dirasakan sudah cukup. Pemainnya terkadang tidak dibayar. Alat yang digunakan juga tidak harus menggunakan movie camera atau kamera Supercam VHS, betacam, atau kamera digital yang kini lagi ngetren. Terkadang dengan camera handycam pun jadi.

Di negara-negara maju seperti Meksiko, Australia, Amerika, Jerman, Perancis, Inggris, Iran, dan Jepang, para pembuat film indie semakin mendapatkan tempat di hati penonton. Sebagai contoh Iran; negara Islam ini terkenal dengan film-film humanisnya. Meskipun dikemas dalam frame film indie, mereka mampu membuat film yang enak ditonton dan menyiratkan nilai kemanusiaan. Tidak jarang film-film mereka mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat dunia seperti pada ajang bergengsi, Academy Award, beberapa kali film Iran masuk nominasi.

Beberapa bulan yang lalu, sebuah produk rokok yang mencoba membuat kegiatan pelatihan film bagi pemula, yakni anak-anak usia SLTP. Usaha ini merupakan upaya mencari bibit para sineas film di tengah-tengah industri sinetron yang sering kehilangan akal. Kini banyak sinetron sebagai bentuk lain dari film mayor yang hanya betul-betul mengejar jam tayang serta masuk dalam sindikasi sinetron di Indonesia. Mereka yang biasa tayang di prime time justru kurang memiliki nilai artistik film yang menarik. Terkesan asal jadi dan muatannya sering keluar dari nalar dan logika kita. Untunglah muncul genre film televisi yang mampu memboyong sineas lama untuk ikut andil dalam revitalisasi film nasional. Namun, tetap ada titik jenuhnya sebab film-film televisi semacam ini juga akhirnya terjebak ke dalam mekanisme ‘kejar tayang’, yang seminggu sekali harus ke luar film televisi. Sementara itu dalam penggarapannya, lama kelamaan cenderung asal-asalan dan kurang greget. Selanjutnya, perkembangan istilah film independen di negara kita sebetulnya untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Komunitas Film Independen (Konfiden) yang berdiri pada 1999. Tampaknya, apa yang dilakukan Konfiden mengacu kepada Image Forum, yakni organisasi film nirlaba yang menitikberatkan pada film eksperimental di Jepang. Organisasi ini dideklarasikan dengan mengadakan kegiatan Festival Film dan Video Independen di Indonesia, yang sudah dilakukan dua kali, 1999 dan 2000 yang lalu. Dalam konteks ini, pengertian independen adalah mandiri, tidak terikat oleh berbagai ikatan. Bahkan, baik pendanaan, pembuat keputusan, pencarian ide maupun sistem peredarannya diusahakan mandiri. Hal yang hingga kini masih perlu diapresiasikan kepada masyarakat luas. Mungkin saja meminjam keberhasilan anak-anak muda yang membuat film secara independen seperti Mira Lesmana, Rudi Soedjarwo, Hary ‘Dagoe’ Suharyadi, Nanang Istiabudhi, dll. Menjadi triger untuk memacu tumbuhnya budaya penciptaan film dengan spirit mandiri. Sebetulnya sistem mandiri ini sudah pernah dirintis oleh Umar Ismail pada tahun lima puluhan. Seterusnya, setiap generasi memiliki pemberontakan terhadap suatu kekuasaan yang dianggap telah stagnan atau bahkan menjadi mapan. Oleh karena itu, demi perkembangan dunia sinema itu sendiri, semangat pemberontakan itu sangat diperlukan. Sebagaimana dicatat oleh sejarah film dunia, mereka yang tadinya memberontak itu kemudian menjadi penguasa lingkungannya seperti kelompok The Movie Brats, yang suatu saat menjadi penguasa Hollywood. Bahkan, pengaruhnya sangat kuat pada industrifilmdi Amerika.

Kelahiran lembaga seperti yang dikelola, diantaranya, oleh Lulu Ratna, Dwi Aryo, Dono, dan Haikal patutlah didukung. Karena toh maksudnya mulia, yakni melakukan apresiasi film terhadap masyarakat dengan kontinyu, melakukan berbagai workshop, melaksanakan
festival film untuk mengumpulkan film, dan video yang tercecer, tetapi sekaligus akan mencatatkan seberapa banyak film yang mandiri itu telah diproduksi di negara kita (Prakosa,2001:113-114).

Selanjutnya, di beberapa kota muncul juga lembaga nirlaba sejenis yang sama-sama menggunakan ‘independen’, seperti Bandung Independent Film d a n Komunitas Film Yogyakarta. Juga semakin bergairahnya Kine Klub di kampus-kampus. Momen yang pernah diselenggarakan SCTV dengan Festival Film Independen Indonesia (FFII) 2002 nyata sekali merupakan stimulus bergairahnya para penggiat film independen. Kini SCTV kembali akan menggelar FFI 2003 yang kedua kalinya dengan dua kategori, amatir dan profesional. Tidak hanya kalangan mahasiswa, tetapi juga pelajar dan umum yang melihat momen sekarang ini tepat untuk mengekspresikan impuls kesenian filmnya.

Dengan memahami uraian di atas, tidak ada lagi pemahaman bahwa membuat film adalah monopoli para pemilik modal. Fenomena film indie seharusnya menjadi penyemangat para pemula untuk menggeluti pembuatan film. Jika karyanya menarik, tentunya lembaga semacam Konfiden bisa membantu untuk mengirimkannya ke forum-forum internasional. Secara korespondensi, sineas-sineas muda bisa berhubungan dengan organisasi sejenis yang ada di berbagai belahan dunia lainnya sebab pembuat film independen memang tidak sendiri. Hampir di seluruh dunia, orang mempunyai hak yang sama atas film independen, karena begitu independenya film independen ini.

Sumber: Kuliah OnLine

14 komentar:

  1. yaah... aku setuju.. teori dah ok... ayo lgsung praktek ae.. hohoho...
    comment k blog q ya...

    BalasHapus
  2. uuhh..panjang bener oy...
    tp berisi jg,,
    hehehe

    BalasHapus
  3. mantab, pemahaman baru tentang sinematografi..

    BalasHapus
  4. Kamu mahasiswa yang aktif? Tertarik dengan pembuatan video? Serta peduli terhadap tertib berlalu lintas?

    Tunjukkan melalui peran serta aktif dalam Indonesia Ayo Aman Berlalu Lintas dengan mengikuti Astra Road Safety Video Competition 2015.

    Untuk informasi lebih lanjut datang dan ikuti Bincang Inspiratif dan Kick off Astra Road Safety Video Competition 2015 pada Hari Selasa, 28 April 2015 di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB) pukul 08.30 WIB - selesai.

    Yang akan hadir sebagai narasumber: Dennis Adhiswara (Sineas Muda dan Sutradara), Ivan Virnanda (Ketua Road Safety Association), Marcell Kurniawan (Owner The Real Driving Course), Riza Deliansyah (PT Astra International Tbk).

    Nikmati acara lainnya Test Drive 8 unit mobil terbaru Astra, Safety Riding & Driving Simulation.

    Acara ini tidak dikenakan biaya dan special kits bagi 50 pendaftar pertama, Free Snack & Lunch, souvenir untuk seluruh peserta terdaftar, Sertifikat, menangkan Smartphone dan Doorprize menarik.

    Untuk info dan konfirmasi lebih lanjut bisa menghubungi no dibawah ini:

    CP : Wike 081220833627 (SMS/WA only)
    Raju 087833654653 (SMS/WA only)

    BalasHapus
  5. bagi pengalamannya,sapa tau bisa gabung

    BalasHapus
  6. terima kasih, sangat bermanfaat =)

    BalasHapus
  7. bang, cari buku ketika film pendek bersosialisasi dimana ya?

    BalasHapus